Senin, 26 Juli 2010

SISTEM MANAJEMEN PENDEKATAN PEMIMPIN

BAB I
PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Pernahkan anda membaca yang diungkapkan oleh para futurist seperti Alvin Toffler, John Naisbit, Frank Feather, Kenichi Ohmae, Ervin Laszlo, Dimitri Mahayana dll.yang dapat kita pergunakan sebagai refrensi mengenai konten yang terkait dengan informasi masa depan bahkan infrmasi tersbut begitu banyak kita peroleh setelah memasuki abad 21. Yang menjadi pertanyaan kita adalah begitu banyak informasi mengenai masa depan, adakah informasi itu dapat dimanfaatkan bagi anda untuk menggerakkan kekuatan berpikir. Inilah satu kenyataan yang kita hadapi bahwa begitu banyak infomasi yang kita miliki tapi kita tidak dapat mempergunakan kedalam suatu proses menjadi bermanfaat.
Oleh karena itu, diperlukan daya dorong untuk menggelorakan jiwa besar kepemimpinan untuk merubah dari pemahaman konten menjadi proses melalui kemampuan dengan membuat pertanyaan dengan mengungkit : Kesadaran dalam What to do ; Kecerdasan dalam Why to do it : Akal dalam How to do it ; Niat dan hasrat dalam When to do it. Dengan mengungkit alat pikiran melalui pertanyaan yang kita kemukakan tersebut, maka arus pikiran anda mampu menggerakkan energi dan informasi yang ada dalam diri anda berarti yang anda merencanakan bahwa tindakan hari ini lebih baik dari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini.
Dengan pemikiran tersebut dapat mendorong keinginan tahuan untuk memahami lebih mendalam dalam menghadapi ketidakpastian, sehingga mencari jawaban bagaimana suatu gaya kepemimpinan dapat diterima dan diterapkan dalam menyongsong gelombang perubahan dengan kesamaan visi dalam kepemimpinan agar dapat menuntun pola pikir lama ke pola pikir baru artinya kesenjangan itu terjadi karena sikap dan perilaku kita yang bersifat reaktif, dalam menghadapi setiap masalah yang timbul. Sedangkan yang dibutuhkan adalah kemampuan menggelorakan jiwa besar kepemimpinan dalam usaha mencari jawaban atas “bagaimana cara membantu orang lain mencapai potensi penuh mereka”.
Sejalan dengan pikiran itu, maka diperlukan suatu gaya kepemimpinan untuk membangun dan mengembangkan prinsip-prinsip kepemimpinan yang mampu memiliki kompetensi untuk menggerakkan orang lain menjadi suatu “kepribadian yang kiblat kepada prestasi bukan kepada kiblat kepada manusia”, sehingga mampu membangun iklim untuk menumbuh kembangkan makna aplikasi dari usaha-usaha yang berencana dan terarah dalam mendorong orang untuk melakukan perubahan dalam menggerakkan kekuatan berpikir dari yang reaktif menjadi proaktif.
B. MASALAH
o Bagai mana pendekatan seorang pemimpin
o Apakah bekal yang diperlukan oleh seorang pemimpin dalam setiap pendekatan pada orang lain Seorang pemimpin bertugas merumuskan visi komunitasnya
C. TUJUAN
Apakah yang diperlukan seorang pemimpin dalam melakukan pendekatan dan untuk dapat dipercaya oleh orang lain

D. BATASAN MASALAH
Makalah ini membahas tentang
 Bagai cara pendekatan seorang pemimpin
 Apakah bekal yang diperlukan oleh seorang pemimpin agar ia dimungkinkan melaksanakan tugasnya dengan baik?
 Seorang pemimpin harus bias menjadi orang yang dipercaya oleh komunitasnya

BAB II
LANDASAN TEORI

Suatu sistem adalah gabungan berbagai komponen yang berinteraksi dalam sedemikian rupa sehingga terarah pada suatu sasaran bersama dari keseluruhan komponen-komponen tersebut. Suatu sistem memang dapat dicipta dan dapat ditemukan dimana-mana. Sebuah mobil adalah sebuah sistem dengan ratusan ribu komponen. Sebuah pesawat televisi juga merupakan suatu sistem. Demikian juga dengan sekumpulan pedagang di pasar, sebuah organisasi, sebuah bandar udara, sebuah leyanan pos telegram bahkan suatu gereja, atau sebuah negara.
Ketika memimpin orang banyak, seorang pemimpin tentu menghadapi berbagai-bagai komponen yang mudah menimbulkan masalah, seperti orang, idam-idaman organisasinya, dana, relasi, teknologi dan berbagai hal lain yang tak mudah diduga perannya. Dengan mudah seorang pemimpin tenggelam dalam berbagai faktor yang menjadi hal-hal rumit serupa tadi. Banyak pemimpin berperan seperti seorang buta yang coba memahami seekor gajah dengan menganggapnya sebagai benda panjang karena ia memegang belalainya atau ekornya saja. Mungkin pula ia mengenali semua komponen yang ada di dalam apa yang ia kerjakan, namun tidak mampu mengenali hubungan satu dengan yang lainnya. Bahkan tidak mustahil ia tidak mengenali hubungan hirarkis antara satu komponen dengan komponen lainnya. Salah satu hal yang juga paling tampak di dalam hidup kepemimpinan adalah gagalnya pemimpin mengenali repons sistem dimana ia berada terhadap perubahan. Akibatnya tidak menyenangkan.
Pertama, ia tidak lagi berhasil menggerakkan diri dan pengikutnya menuju visi mereka. Ia tenggelam di dalam berbagai urusan dan perhatiannya terbagi-bagi, sehingga ia lelah bahkan menjadi skeptis dan apatis. Visinya pun mulai dilupakan dan pudar. Kemudian, kebersamaan mereka akan kehilangan dinamikanya dan diisi dengan kepahitan dan kebosanan. Sang pemimpin tidak lagi mengejar impian karena ia gagal melihat hal-hal besar dan kaitan berbagai faktor kecil dalam urusan dia dalam suatu kerangka pikir. Kalaupun ia tetap tekun menangani semua komponen masalah, ia tidak lagi menjadi pemimpin yang efektif karena ia bekerja bagai pilot pesawat yang terus menerus sibuk mereparasi bangku dan jendela di kokpitnya.

Kedua, ia gagal mengenali hubungan sebab akibat. Di dalam suatu peristiwa, seorang pemimpin menghadapi situasi pengambilan keputusan. Di dalam pabrik yang dipimpinnya ditemukan genangan oli di antara rangkaian mesin-mesin besar yang menghasilkan sebuah benda. Dengan sigap wakilnya meminta salah seorang anak buahnya membersihkan oli tadi. Namun sang pemimpin bertanya sebelum hal tadi dilaksanakan. “Dari mana asalnya oli tadi?” Orang menjawab bahwa oli tadi adalah hasil kebocoran dari sebuah mesin. Kembali sang pemimpin bertanya “Mengapa mesin tadi bocor?” Terhadap hal itu ia mendapatkan jawab bahwa mesin tadi sudah bocor sejak awal pemasangannya karena gasket nya bocor. Kini ia bertanya kembali mengapa gasket tadi bocor. Wakil dan anak buahnya, terdiam karena mereka tidak pernah memikirkan hal itu dengan dalam. Jelas sang pemimpin tidak segera mengambil keputusan namun mencoba melihat genangan oli sebagai suatu hasil dari suatu proses atau rangkaian komponen yang tidak terlihat. Ia melakukan apa yang disebut sebagai pemetaan hubungan kausal atau sebab akibat. Ia memeriksa komponen-komponen dari sistem pabriknya dan melakukan peningkatan kinerja. Bayangkan, kalau ia hanya menghapus oli yang tergenang, maka esok harinya ia akan harus melakukan hal yang sama.
Jadi memang seorang pemimpin yang handal memerlukan kemampuan menggunakan kerangka pemikiran dan pendekatan sistem, yaitu pendekatan yang menyeluruh. Hal inilah yang sering membedakan kualitas seorang pemimpin dari bawahannya. Artinya ia memiliki kemampuan menggunakan kerangka pemikiran menyeluruh tertentu di dalam menghadapi kerumitan. Namun dalam upaya memahami kerumitan tadi dengan utuh seringkali pemimpin terjebak dalam kerangka yang salah.
Pertama, ia membuat gambaran yang terlalu sederhana tentang kerumitan tadi. Akibatnya ia jatuh ke dalam penyederhanaan yang semu. Contohnya, banyak pemimpin di kepolisian Amerika latin jatuh kedalam penyederhanakan masalah narkoba. Mereka menganggap bahwa penggrebekan terhadap supplier narkoba di daerah mereka akan menekan arus jual beli narkoba di sana. Sebenarnya yang terjadi adalah sebaliknya. Bila penggrebekan narkoba terjadi, maka di daerah tadi terjadi kelangkaan barang atau supply sedangkan tingkat permintaan dan kebutuhannya tetap. Akibatnya, harga meningkat. Dengan meningkatnya harga maka para penyalur dari daerah lain mengirimkan barang dalam jumlah besar karena akan mendapatkan laba yang lebih besar dari laba di daerahnya sendiri. Selanjutnya, sampai akhirnya harga menurun kembali, maka proses jual dan beli narkoba di daerah tersebut tetap tinggi.
Pilihan kedua adalah seorang pemimpin mencoba menangani kerumitan dalam tugasnya dengan mengadakan penelitian ilmiah dan pendekatan interdisipliner. Ia ingin mendapatkan akurasi yang tinggi tentang apa yang dihadapinya sebelum ia mengambil keputusan-keputusan. Akibatnya, waktu dan enerji akan banyak dituangkan hanya untuk menjelaskan kompleksitas tadi dan berakhir dengan rasa tidak berdaya. Situasi Indonesia pada masa kini mencerminkan hal tadi.
Jadi kini, tersisa suatu pilihan lain. Pilihan ketiga adalah sang pemimpin menggunakan pendekatan sistem, suatu cara yang memberikan kejelasan utuh namun merangkum semua faktor yang berperan dalam kerumitan yang ada dengan jelas.
Apakah pendekatan sistem atau kerangka pikir sistem. Apakah sistem itu? Bagaimana menciptanya, bagaimana memelihara, dan bagaimana mengenalinya? Lebih penting lagi, bagaimana menangani berbagai urusan kepemimpinan dalam kaitan dengan sistem?
Seperti sudah disinggung, suatu sistem adalah penggabungan dari berbagai komponen. Suatu permainan sepak bola, misalnya memiliki berbagai komponen baik manusia dan benda serta metode misalnya, pemain, penonton, wasit, penjaga garis, kemudian bola, gawang, lapangan, kursi penonton, bendera, pluit, baju seragam, bahkan juga cara memberikan imbalan, aturan-aturan pertandingan, metode menyerang, dan sebagainya. Komponen-komponen tadi bergerak bersama.
Suatu sistem juga adalah kaitan-kaitan antara satu komponen dengan komponen lainnya. Lebih daripada itu tiap kaitan akan menghasilkan suatu dinamika yang berbeda-beda. Seorang yang mempelajari sistem dinamika akan belajar mengenali struktur, pola-pola dan pengaruh dari kaitan-kaitan di dalam suatu sistem. Contoh yang paling jelas adalah dengan mengamati dua kelompok manusia yang masing-masing terdiri dari 50 orang yang tinggal bersama. Kedua kelompok tadi sama-sama memiliki sebidang tanah, modal kerja, senjata, teknologi, dan komposisi pria-wanita yang sama. Satu-satunya yang membedakan adalah bahwa di dalam kelompok yang pertama mereka yakin bahwa ada orang yang harus dijadikan pemimpin mereka karena orang tadi dianggap lebih luhur dan memiliki nenek moyang yang bangsawan. Sementara itu di kelompok yang lain, kepemimpinan dipilih berdasar pada kemampuan seseorang dan penerimaan orang banyak kepadanya, sehingga status dan tanggung jawab ini bersifat sementara. Kedua kelompok akan menghasilkan dua jenis struktur dan pola hubungan yang berbeda, serta mungkin pengaturan pembagian ruang tinggal dan tata krama berpakaian.
Suatu sistem dapat terdiri dari suatu komponen tunggal atau terdiri dari berbagai sub sistem atau kumpulan komponen. Selain itu komponen-komponen di dalam sistem membentuk suatu batas yang membedakan sistem tadi dengan lingkungannya, sama seperti kulit memisahkan seseorang dari orang lain atau masyarakat. Contoh yang jelas adalah di sebuah rumah susun. Di rumah susun tadi tinggal sekelompok pengusaha muda yang masih lajang serta sekelompok pekerja yang sudah bekeluarga. Dalam waktu pendek kedua kelompok tadi membentuk pola hubungan yang terpisah. Para lajang seringkali bepergian bersama di malam hari, sedangkan para ibu dan bapak rumah seringkali hanya mengobrol dengan tetangga di lingkungan rumah susun itu. Bila ada bapak-bapak yang berusaha ikut dalam acara bepergian di malam hari tadi, terasa bahwa kehadiran mereka tidak disambut hangat atau sekurangnya ditolerir.
Suatu sistem juga memiliki identitas, stabilitas terhadap perubahan dan tujuan. Pengalaman penulis tinggal bersama untuk waktu pendek di antara penghuni rumah kumuh sepanjang Tanah Abang Bongkaran di tahun 1974 menunjukkan bahwa para penghuni tidak mudah digusur atau digerebek. Berkali-kali tempat itu dibakar, penghuninya dipindahkan, serta mereka diberi tawaran untuk bertransmigrasi. Dalam waktu pendek mereka kembali menghuni tanah kosong Bongkaran serta gerbong-gerbong kereta tua di dalamnya. Berbagai organisasi mencoba menolong mengangkat kehidupan disana, namun para penghuni tidak berubah banyak karena mereka mempertahankan kestabilan lingkungan masyarakat mereka tanpa banyak dirancang.
Akhirnya suatu sistem adalah sesuatu yang terus berubah karena adanya faktor waktu yang menimbulkan berbagai dinamika di dalamnya. Dalam dekade yang lalu, sebuah sekolah sebagai sistem, misalnya, mengalami berbagai perubahan. Guru tidak lagi berperan sebagai orang tua murid, namun menjadi pengajar profesional yang memberikan waktunya.
Peran orang tua lebih menjadi konsumen yang berani membayar para profesional dan lingkungan asri bagi putera-puterinya. Sekolahpun tidak lagi menjadi penjaga nilai dan keluhuran bersama ilmu yang akan diwariskan antar generasi. Sekolah semakin mirip sebagai sebuah lembaga bisnis yang memenuhi kebutuhan konsumen demi terjadinya transaksi dan pertukaran yang saling menguntungkan. Untung uang dan prestise mereka memberikan ilmu dan pembekalan masa depan. Dengan demikian guru tidak lagi menjadi abdi ilmu dan abdi nilai luhur yang dihormati karena pengabdiannya, namun berubah menjadi para profesional yang digaji, yang dapat menuntut haknya dan dapat mengadakan tawar menawar. Sistem pendidikan berubah menjadi suatu hubungan yang tidak berbeda dengan suatu perusahaan.
Selain itu sebuah sistem juga mampu mengatur diri sendiri dan membuatnya terus hadir. Dalam suatu pelatihan misalnya, terhadap 50 orang yang berdiri dilemparkan sebuah bola volley yang harus terus diapungkan ke udara. Ke lima puluh orang tadi bergerak dan memukul serta berlari sehingga bola tadi tidak juga jatuh ke tanah. Mendadak sebuah bola lagi di masukkan ke tengah mereka, maka dengan sendirinya mereka mengatur diri sehingga ke dua bola tetap tertangani dengan baik. Mereka mengatur diri sendiri tanpa perjanjian terlebih dulu. Mereka menjadi suatu sistem yang menurut von Bertallanfy, seorang pakar, mempertahankan intergritasnya sendiri.
Dapat dicatat bahwa di dunia terdapat beberapa sistem yang menarik diteliti. Salah satunya adalah Sistem Pengiriman Pos sedunia. Walaupun terjadi perang atau bencana sekalipun, sistem ini tetap tegar dan melaksanakan fungsinya. Sistem ini juga menerobos batas etnis, kelas sosial, dan perbedaan sistem politik. Dalam keadaan perang sekalipun, perajurit di front terdepan masih menerima surat-surat dari keluarganya.
Dengan demikian, seorang pemimpin yang menggunakan pendekatan sistem berarti ia tidak tenggelam pada apa yang kasat mata saja, baik proses maupun komponen-komponen yang besar. Seorang yang memahami pendekatan sistem adalah seorang yang mampu mengenali kaitan-kaitan yang seringkali samar dan tersembunyi. Ia juga seorang yang mengenali berbagai komponen yang ada di dalam sistemnya, sehingga tidak mengabaikan hal yang kecil sekalipun. Lebih lanjut lagi seorang yang mempelajari pendekatan dan kerangka pikir sistem sebagai pemimpin akan memiliki kemampuan sebagai berikut:
1. Mampu menyadari bahwa ia memiliki kebebasan untuk bereksperimen dengan sistem karena tidak mungkin ia mampu membuat kendali dan pemetaan utuh dan menyeluruh tentang sistem
2. Mampu membuat metafor, gambar, kiasan atau model mental dari hal rumit yang ia hadapi sehingga dapat menanganinya
3. Mampu menghasilkan pemikiran yang menggambarkan struktur dari kaitan-kaitan antar komponen-komponen dalam sistem tadi
4. Mampu membaca persepsi orang terhadap pengaruh-pengaruh yang ada atau komponen-komponen di atas
5. Mampu mengenali tujuan dan arah gerak dari sistem tadi
6. Mampu membaca dan memahami dinamika dari suatu proses misalnya, penundaan, proses masukan dan gelombang perubahan (osilasi) atau siklus
7. Mampu membuat pengendalian secara terbatas terhadap apa yang berlangsung sebagai suatu sistem.
Dengan kata sederhana, pendekatan sistem adalah pendekatan yang tidak cukup menggunaan logika saja. Untuk mampu menggunakan pendekatan tadi, seorang pemimpin membutuhkan kerendahan hati untuk mengakui bahwa selain menggunakan nalar, ia membutuhkan intuisi. .
BAB III
ANALISA
SISTEM PENDEKATAN PEMIMPIN

A. Bagaimana menggunakan pendekatan sistem pada hidup gereja
Pada tahun 2001, seorang yang bernama Christian Schwartz meneliti lebih dari 8000 gereja di lima benua. Schwartz bertanya di dalam hatinya, mengapa ada gereja yang berkembang dalam kualitas dan kuantitasnya sebaliknya ada gereja yang stagnan bahkan mundur dan punah. Sebagai hasil dari penelitian ini Schwartz mendapatkan bahwa suatu gereja perlu dilihat sebagai sistem. Lebih lanjut lagi, sistem ini disebutnya sebagai organisme. Dengan metafor bahwa gereja adalah bagaikan pohon tertentu yang berakar, berbuah, dan bertumbuh, ia mengenali banyak hal. Di dalam sistim ini ada dua pengaruh besar yang bekerja. Pertama adalah segala sesuatu yang dikerjakan oleh Tuhan, kemudian, segala sesuatu yang menjadi bagian manusia.
Seringkali apa yang menjadi bagian Tuhan dirampas manusia, walaupun dengan maksud baik. Sebagai akibatnya, gereja tidak berkembang. Di lain pihak ada pula terjadi suatu pekerjaan yang menjadi bagian manusia tidak dikerjakan oleh siapapun entah karena malas atau tidak disadari tanggung jawab untuk melaksanakan hal itu. Seringkali dalam melakukan apa yang jadi tanggung jawab manusia, mereka memberikan fokus hanya pada hasil yang ingin dicapai. Menurut Schwartz, gereja yang sehat dan bertumbuh memberikan fokus justru pada akar-akar perkembangan jemaat dan bukan pada buahnya saja.
Lebih lanjut lagi, sebagai hasil reisetnya mengenai gereja yang berhasil, Schwartz menunjukkan delapan akar utama yang harus ditangani sebagai bagian kerja manusia yang Tuhan percayakan dalam membangun jemaatnya. Ke delapan hal tersebut adalah
 Adanya kepemimpinan yang menginspirasikan
 Struktur dan prosedur yang tepat guna
 Kasih dalam persekutuan yang erat
 Adanya sel-sel yang holistik
 Adanya program meraih ke luar (kesaksian sosial dan pekabaran Injil dalam arti tradisional)
 Pengenalan karunia tiap orang yang terlibat dalam pelayanan sehingga pelayanan dikelola berdasarkan karunia-karunia tadi
 Ibadah yang mengilhami hadirin
 Spiritualitas yang bergairah

Ketika pendekatan ini diteliti, beberapa pendeta di Jakarta menyadari bahwa masih ada suatu komponen yang dirasakan sangat penting bagi pelayanan di Indonesia tetapi absen di dalam teori di atas. Komponen tadi adalah kedekatan atau keterbuakaan untuk menjalin hubungan dengan tetangga atau masyarakat di sekitar gereja tadi.
Ke sembilan komponen tersebut merupakan akar untuk menghasilkan pembangunan gereja dan buah-buah yang indah.
Namun karena gereja adalah sebuah organisme dan bukan organisasi saja maka beberapa kekhasan organisme ini harus dipastikan hadir di dalam prosesnya. Kegagalan memperhatikan hal itu akan menghasilkan sembilan hal di atas yang indah namun kaku dan bekerja bagaikan sebuah robot. Ke enam proses yang perlu diperhatikan seorang pemimpin agar keseluruhan komponen di dalam sistem pelayanan tumbuh dengan seharusnya ialah
1. Proses simbiosis atau sinergi dari berbagai komponen pelayanannya,
2. Proses multiplikasi atau penggandaan,
3. Proses saling bergantung atau memperkuat,
4. Proses memastikan bahwa semua hal masih berfungsi
5. Proses memastikan bahwa setiap komponen dapat memainkan berbagai fungsim
6. Dan proses perubahan enerji yang ada entah enerji penghalang atau pendukung
Keenam hal itulah yang menurut pakar ini bukan saja terdapat dalam hidup organisme yang bernama mahluk hidup atau jemaat namun bahkan dalam alam raya sendiri. Dengan melakukan hal-hal itu terhadap komponen-komponen akar yang diuraikan di atas, maka dengan sendirinya gereja bertumbuh.
Dengan dasar pemikiran ini Schwartz bahkan mendapatkan bahwa suatu komponen yang lemah akan menjadi tolok ukur dari kinerja tertinggi yang dapat dilaksanakan oleh sistem pelayanan yang ada. Dengan pendekatan ini, maka fokus pembangunan jemaat harus dimulai dengan menangani salah satu dari sembilan komponen yang paling lemah. Untuk itu pakar ini bahkan membentuk serangkaian alat ukur untuk mengevaluasi komnponen-komponen dari sistem pelayanan di sebuah jemaat dan kemudian mengembangkan komponen yang terlemah.

B. Bagaimana menggunakan pendekatan sistem bagi organisasi lain
Walaupun tidak ada metode terbaik yang pas dilakukan untuk semua konteks kerja organisasi atau komunitas tertentu, namun teori pendekatan sistem menawarkan empat konsep yang perlu dikenali dan dapat digunakan sebagai bekal menganalisis serta mengadakan perbaikan sistemik.
1. Konsep dinamika suatu sistem
Di dalam konsep ini kita belajar bahwa suatu sistem adalah keseluruhan yang unik dari berbagai komponen. Tiap komponen tidak merupakan wakil dari keseluruhan tadi. Penjumlahan dari tiap-tiap komponen tadi juga belum menggambarkan sistem tadi. Namun ketika tiap komponen tadi terhubung seara khusus dengan komponen lain, keseluruhannya membentuk suatu sistem yang memiliki karakteristik yang khas. Bukti hal ini adalah dengan melihat suatu pop band seperti kelompok pemusik the Beatles. Keseluruhan mereka memiliki karakteristik yang khas dan tidak dapat dihadirkan ketika masing-masing pemusik mengadakan show atau rekaman sendiri. Jadi John Lennon atau Ringo Star sebagai pribadi, tidak memperlihatkan karakteristik yang khas dari the Beatles, walaupun the Beatles mengandung keduanya.
Hal yang tidak kalah pentingnya untuk dikenali dalam konsep dinamika sistem adalah bahwa suatu sistem senantiasa berinteraksi dengan lingkungannya.
Ada sistem yang lebih terbuka dan ada yang lebih tertutup. Terbuka artinya sistem ini memberikan kontribusi kepada lingkungannya serta menerima masukan-masukan. Tertutup artinya suatu sistem venderung menolak masukan dan bahkan memisahkan diri dari lingkungannya. Misalnya, sejarah Asia memperlihatkan bahwa ada bangsa-bangsa yang lebih terbuka pada teknologi barat, seperti Jepang di jaman Tokugawa mengirimkan ratusan pemudanya untuk belajar ke Eropa, namun adapula bangsa yang tertutup dan menolak teknologi tersebut. Kegagalan suatu sistem membuka diri akan dapat memusnahkannya dengan mengejutkan. Ketika Jepang membuat sepeda motor berukuran mungil, berbagai pabrik sepeda motor di Eropa menertawakannya. Ketika Jepang terus belajar dan akhirnya mulai memproduksi sepeda motor ukuran menengah, negara-negara Barat masih menertawakan dan mengagungkan Triumph, Jawa, dan BSA. Ketika akhirnya Honda memproduksi motor besarnya dengan harga jauh di bawah motor-motor saingannya, Eropa dan Amerika hanya dapat terhenyak dan menelan kekalahan kompetisi tanpa ampun.
Selanjutnya, suatu sistem merupakan suatu rangkaian proses masukan, pengolahan, dan keluaran atau output serta umpanbalik. Suatu sistem yang dibangun tanpa kejelasan output akan dengan mudah mengalami kebingungan karena ketidak jelasan tadi akan berimbas pada desain rangkaian komponen dan pemilihan input yang dikehendaki. Di dalam pelayanan gereja, seringkali ketidak jelasan output ini membuat semua berjalan asal jadi tanpa kualitas yang dapat dievaluasi dan dipertanggung jawabkan di depan Tuhan.
Akhirnya, suatu sistem adalah suatu entitas yang terarah pada tujuan yang beragam. Bukti yang jelas adalah suatu organisasi seringkali menangani berbagai tujuan. Suatu sistem pengiriman pos, seringkali juga menjadi sistem yang mengelola data base yang paling baik karena jaringan yang mereka miliki adalah jaringan yang sangat menyeluruh.
2. konsep tingkat sistem yang hidup
Bila kita amati suatu sistem, pada hakekatnya sistem tadi merupakan suatu sub sistem dari sistem yang lebih besar. Sistem yang lebih besar inipun merupakan suatu sub sistem dari suatu sistem yang lebih akbar dan seterusnya. Dalam kenyataan terdapat hieraki sistem yang terdiri dari tujuh sub sistem:


a. Sel
b. Organ
c. Individu
d. Kelompok
e. Organisasi
f. Masyarakat
g. Dunia
Dengan pemahaman ini maka adanya suatu hirarki dalam berbagai urusan adalah wajar dan alamiah. Masalah dan kompleksitas hadir justru ketika beberapa sub sistem bertabrakan atau mengalami ketidak jelasan fungsi dan kaitan.
3. Konsep Orientasi Yang Menghasilkan Kehidupan
Untuk mengembangkan atau membangun suatu sistem dan sub-sub sistemnya, maka diperlukan suatu kerangka pikir sistemik. Untuk itu, konsep orientasi menolong kita. Di dalam konsep ini, kita harus mendapatkan kejelasan untuk beberapa hal dengan bertahap:
4. Konsep Naik Turun Perubahan
Dalam kenyataannya, hidup sebagai sistem besar bergerak dari stabilitas ke arah instabilitas, dan kemudian mengarah pada titik stabil yang baru. Perubahan serupa ini adalah hal yang wajar. Kita tidak perlu menolak perubahan. Sebaliknya kita perlu mengenali tahap-tahap suatu perubahan dan bagaimana orang-orang yang kita pimpin menjalaninya. Ada ornag-orang yang memiliki kemampuan adaptasi yang lambat, sebaliknya adapula yang sangat sigap.
Situasi lapangan menunjukkan hal tersebut ketika Indonesia terjebak ke dalam krisis ekonomi di tahun 1998. Banyak tokoh masyarakat membuat pernyataan bahwa Indonesia tidak akan jatuh seperti Thailand karena basis ekonominya berbeda. Penyangkalan ini masih berlanjut bahkan ketika nilai tukar dollar terhadap rupiah terus meningkat. Selanjutnya, ketika ternyata Indonesia menjadi negara yang bangkrut dan ditekan oleh berbagai tuntutan IMF, timbullah berbagai pernyataan emosional yang berupa kemarahan. Tingkat kriminalitas di tengah masyarakat juga meningkat sangat tinggi. Hampir setiap hari di tahun 1999 diberitakan adanya orang yang ditangkap oleh masyarakat dan dibakar hidup-hidup.
Akhirnya, orang mulai menyesuaikan diri. Berbagai tokoh memberikan metafor bahwa suatu badai pasti akan berlalu. Tidak kurang tokoh bagaikan Jisman Simanjuntak menyatakan bahwa Indonesia adalah bagaikan pohon-pohon yang rusak, namun hutannya sendiri masih bertahan dan banyak jumlahnya. Akhirnya, suatu stabilitas baru lahir. Orang terbiasa dengan hidup yang tak menentu dan semakin tahu diri dalam melakukan kegiatan investasi dan konsumsi.
C. Bagaimana Membangun Kemampuan Pendekatan Sistem
Pertama-tama, sama seperti seorang yang belajar mengendarai sepeda. Ia cepat merasa bingung dan lepas kendali karena ada banyak komponen yang harus dikuasainya. Untuk setiap saat ia memfokus pada suatu komponen, komponen-komponen yang lain lolos dari perhatiannya. Seorang anak yang baru belajar naik sepeda dan berkonsentrasi hanya pada pedal, dengan mudah menabrak orang lain karena ia luput mengendalikan setir sepedanya.
Seorang yang akan memiliki kemampuan pendekatan sistem memang memerlukan beberapa sikap kepemimpinan serta skil kepemimpinan. Ia harus handal dalam teknik observasi, dalam berkomunikasi, serta membuat pemetaan proses serta mampu mengadakan pendekatan secara fleksibel, tanpa putus asa dan mampu mengendalikan respon otomatisnya. Dengan modal itu, ia perlu berupaya menggunakannya dalam memahami sistem di hadapannya. Namun setelah melakukan segala sesuatu sesuai dengan skil dan sikapnya, ia harus memasuki suatu tahap kedua.
Pada tahap kedua ini, ia perlu menyadari bahwa penguasaan pendekatan sistem harus dimulai dengan munculnya kesadaran pada mereka yang ingin belajar tentangnya bahwa tidak ada seorangpun yang mampu mencerna secara nalar, apalagi mengendalikan sistem yang sedang dihadapi. Semua skil, sikap dan pengalamannya tidak mencukupi dan patut diandalkan untuk memetakan kerumitan yang ada. Semakin dipetakan semakin banyak bagian esensial dari kerumitan tadi yang luput digambarkan. Kesadaran ini akan membuat ia merasa bebas untuk membuat eksperimen dan kesalahan dalam tahap ketiga, yaitu tahap eksplorasi.
Pada tahap ketiga, ia mulai menggunakan kemampuan bawah sadarnya atau kemampuan nalar yang tidak biasa. Ia berhenti berupaya mencerna secara nalar, namun menggunakan intuisinya dalam mengenali seluruh kerumitan yang ada. Penggambarannya tentang kerumitan yang ada mulai menggunakan metafor dan berbagai imajeri atau kiasan-kiasan. Ketika kata-kata dan bahasa terasa tidak cukup lagi memberikan akurasi tentang sistem, maka digunakan gambaran-gambaran yang lebih lentur. Kondisi serupa ini sama dengan sulitnya orang menjelaskan iman, cinta, dan kesepian dengan kata-kata biasa yang linear karena ketiga hal tadi sangat kaya dimensi.
Sekali lagi dapat ditekankan disini bahwa dalam pendekatan sistem, agar potensi bawah sadar tadi dapat dipergunakan, seseorang harus tiba terlebih dulu pada kesadaran bahwa tidak akan ada suatu pemahaman lengkap terhadap sistem tadi, karena baik sistem dan orang yang mencoba memahami terus berubah dan berinteraksi. Tujuan pendekatan sistem adalah untuk memahami lebih utuh dan menyeluruh suatu kerumitan.
Pada tahap keempat, dimana kesadaran nalar dan potensi alam bawah sadarnya terkait, mulailah muncul suatu kemampuan untuk memahami kerumitan yang ada. Jadi sangat penting untuk diterima kenyataan bahwa pendekatan sistem membutuhkan integrasi antara rasionalitas dan juga intuisi.

D. Konsep Kepemimpinan dalam Islam
ADA ungkapan yang sangat baik dalam tradisi Islam, bahwa “syyidul qaum khaadimuhum/memimpin adalah melayani”. Etos melayani bagi seorang pemimpin adalah etos yang sangat relevan untuk masyarakat kita dewasa ini. Bukan saja karena etos itu merupakan alternatif yang radikal terhadap etos kepemimpinan feodalistik-paternalistik, bahkan eksploitatif, yang menghegemoni kita selama ini. Akan tetapi karena itulah etos kepemimpinan yang sungguh hakiki.
Kepemimpinan yang melayani tidak lain adalah kepemimpinan yang berorientasi bukan kepada kepentingan sang pemimpin sendiri, atau kroninya, melainkan kepada kepentingan pihak yang dipimpin, yakni masyarakat atau rakyat banyak. Khususnya masyarakat atau rakyat yang berada pada posisi lemah, tidak berdaya, teraniaya dan terpinggirkan. Karena, berbeda dengan mereka yang kuat dan berdaya, masyarakat yang lemah adalah masyarakat yang tidak mampu melayani kepentingan mereka sendiri. Disinilah peranan pemimpin dan kepemimpinan menjadi relevan.
Maka dalam konteks kepemimpinan yang utama (imamah udhma), kepemimpinan negara/pemerintahan, Rasulullah SAW menegaskan, “As-aulthanu dhilullah fil ardl ya-wiy ilaihi kullu madhlum/Pemimpin negara/pemerintahan sebagai pemegang puncak kepemimpinan masyarakat, seharusnya adalah payung Allah dibumi kepada siapa rakyat yang lemah tak berdaya (madhlum) mendapatkan perlindungan” (HR. Tirmidziy).
Dalam kaidah Fiqh sebagai teori Etika Islam dikatakan, “Tasharruful Imam ‘alar raiyyah manuthun bil mashlahah/Kebijakan seorang pemimpin haruslah selalu mengacu kepada kepentingan rakyat yang dipimpin”.
Akan tetapi apa yang baru saja kita tegaskan adalah konsep normatifnya, yang seharusnya, atau idealnya, das sollennya. Semua agama dan ajaran-ajaran moral atau etika yang kita kenal tentu punya idealisme yang sama, meski dengan ungkapan atau bahasa yang berbeda-beda. Bahkan dugaan saya, konsep kepemimpian Jawa yang feodalistik dan paternalistik pun, pada mulanya dimaksudkan demikian. Yakni bahwa seorang pemimpin harusnyalah seperti layaknya seorang bapa yang melindungi dan melayani anak-anaknya yang kecil dan lemah. Sayangnya, konsep pemimpin sebagai seorang bapa tetap, tetapi bukan lagi bapa yang melayani melainkan bapa yang merasa benar sendiri dan tahunya hanya dilayani dan dilayani.
Kenapa ? Karena semua agama diajarkan. Untuk pertama kalinya, oleh orang-orang suci yang tidak punya interest kecuali mengabdi kepada Kebenaran dan Kemuliaan (Tuhan). Tapi sesudah itu, agama berpindah ketangan hati orang-orang biasa, yang kadang punya kepentingan luhur tapi terkadang juga kepentingan renda. Maka terjadilah distorsi, bahkan penjungkir balikkan. Akhirnya yang normatif dan empirik berjalan sendiri-sendiri, bahkan benturan. Distorsi itu pada mulanya diawali dengan kepentingan pribadi, kemudian diabsahkan dengan penafsiran yang diplintir, dan akhhirnya menjadi kebijakan dan tindakan.
Yang kita saksikan dan rasakan sekarang ini adalah fakta kontradektoris itu, dimana ajaran-ajaran ideal nan adiluhung tidak lagi mewujud dalam kenyataan, bahkan secara formal harfiah pun ajaran itu sudah dikotakkan, disembunyikan. Pemimpin yang ada ditengah-tengah kita, dengan berbagai bidang dan levelnya, hampir-hampir tidak ada lagi yang menyadari dirinya sebagai pelayan masyarakat/rakyatnya. Yang mereka tahu bahwa sebagai pemimpin merekalah yang harus menentukan, dan mereka pulalah yang diuntungkan.
Saya berharap bahwa suatu Workshop Kepemimpinan seperti ini dapat melakukan langkah-langkah sebagai berikut :
Menjernihkan kembali konsep normative dan etis kepemimpinan yang telah terlanjur berdebu oleh tafsir-tafsir kepentingan jangka pendek.
Melakukan diagnosis atau analisa kritis terhadap fakta-fakta distortif diseputar kepemimpinan yang semula untuk melayani justru berbalik untuk dilayani.
Merumuskan kerangka aksi (praksis) bagaiman fenomena kepemimpinan (dilingkup apapun dan dilevel apapun) dapat dipaksa kembali pada khittahnya, untuk melayani dan bukan dilayani.
Walladziina jaahadu fiina lanahdiyannahum subulana/Barang siapa yang bersungguh-sungguh untuk menemukan pastilah Kami akan menunjukkan jalannya.

E. Kepemimpinan dalam Buddhis
Menurut ajaran Sang Buddha, kepemimpinan Buddhis adalah bagaimana agar setiap orang bisa mengikuti sesuai dengan ajaran Sang Buddha. Kepemimpinan adalah bentuk seni dan gaya hidup untuk membuat orang lain mengikutinya. Setiap orang paling senang bila perkataannya diikuti orang lain. Dalam Cakkavatti Sihanada Sutta (Digha Nikaya), Sang Buddha menjelaskan dengan terperinci apa saja yang harus dilakukan seorang pemimpin (Raja) untuk bangsa dan negaranya.
Seorang pemimpin harus berada dalam kebenaran. Ia harus menjadikan dirinya sebagai panji kebenaran. Kebenaran adalah tuan bagi dirinya. Kebenaran dijaga dengan melaksanakan lima sila (Pancasila), yaitu dengan menghindari pembunuhan, menghindari pengambilan barang-barang yang tidak diberikan, menghindari melakukan perbuatan asusila, menghindari ucapan yang tidak benar, serta menghindari makan makanan atau minuman yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran. Ia harus menyucikan dirinya dengan kebenaran. Kewajiban seorang pemimpin adalah melindungi dan mengayomi keluarganya, para bangsawan, para menteri, tentara, para perumah tangga, para penduduk desa dan kota, para rohaniwan, para samana dan pertapa, serta binatang-binatang. Ia harus memperhatikan apa saja yang dibutuhkan oleh mereka. Ia harus berjuang untuk tidak membiarkan kaum miskin merana. Ia harus memperhatikan kecukupan kebutuhan yang diperlukan, baik pangan, papan, atau sandang. Ia harus memberikan lapangan pekerjaan.
Seorang pemimpin harus menegakkan kebenaran. Ia tidak boleh membiarkan kejahatan terjadi dalam pemerintahannya, meskipun terlihat hanya kecil. Ia tidak meremehkan perbuatan baik walaupun kecil. Ia terus mendorong seluruh bangsanya untuk berada dalam garis kebenaran dan menghindari kejahatan.
Seorang pemimpin harus selalu meperhatikan nasehat dari para samana dan pertapa. Bila ia berada dalam garis kebenaran, maka mereka akan selalu datang menemuinya untuk memberitahukan apa saja yang baik dan apa saja yang buruk, perbuatan apa yang pantas dilakukan dan perbuatan apa yang tidak pantas dilakukan, perbuatan yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat di masa yang akan datang. Ia harus mendengarkan dan melaksanakan apa yang mereka katakan.
1. Dana (Kedermawanan)
Seorang pemimpin patut memperhatikan kesejahteraan dan kemakmuran hidup rakyatnya. Pemerintah hendaknya memiliki kemampuan menyediakan kebutuhan cukup bagi rakyatnya. Kewajiban ini merupakan penjaminan berlangsungnya keadaan perekonomian negara.
2. Sila (Moralitas)
Seorang pemimpin harus selalu mengendalikan diri dari perbuatan-perbuatan tidak bermoral. Pemerintah yang bermoral akan menghindari pembunuhan, penipuan, rekayasa kotor, korupsi, dan sebagainya, yang dapat merusak kepercayaan dan pengakuan rakyat.
3. Paricagga (Pengorbanan diri)
Seorang pemimpin selalu siap mengorbankan dirinya demi kepentingan rakyat banyak, kepentingan bangsa lebih diutamakan daripada kepentingan pribadi atau kelompok. Pemimpin yang rela berkorban demi rakyat banyak akan dibela oleh rakyatnya pula.
4. Ajjava (Integritas)
Bersikap tulus dalam menjalankan kewajibannya dengan menjunjung tinggi kebenaran. Bila hubungan antar manusia dapat diikat hanya dengan janji resmi atau sumpah yang diucapkan, tetapi orang yang memerintah harus terikat pada hukum kebenaran baik dalam pikiran, ucapan, maupun tingkah laku.
5. Maddava (Berani bertanggung jawab)
Mengurus kepentingan rakyat menuntut pertanggung jawaban terhadap segala tindakan sesuai dengan harapan rakyat. Pemimpin siap mengemban tugas-tugas yang diberikan oleh rakyat.
6. Tapa (Sederhana)
Seorang pemimpin siap hidup sederhana, puas dalam hidup sederhana, tidak serakah, tidak menginginkan berlebih-lebihan sementara kehidupan rakyatnya diabaikan.
7. Akkodha (Tanda kemarahan)
Seorang pemimpin hendaknya berusaha melepaskan segala permusuhan, itikad buruk, sentimen pribadi, maupun kebencian dan kedendaman terhadap siapapun juga. Segala sesuatu yang dilakukannya dipertimbangkan berdasarkan kepentingan rakyat.
8. Avihimsa (Tanpa kekerasan)
Kekerasan bukan cara penyelesaian masalah yang tuntas, sebab kekerasan akan menimbulkan kekerasan pula, kekerasan merupakan sumber pertikaian yang tak kunjung selesai.
9. Khanti (Kesabaran)
Seorang pemimpin hendaknya menerima pujian maupun celaan, sanjungan maupun hujatan dengan kesabaran pikiran. Pikiran tenang akan membuat pengamatan jernih terhadap situasi yang berkembang, dan yang harus ditangani.
10. Avirodha (Tidak menentang kehendak rakyat)
Seorang pemimpin tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani rakyat. Hak pemimpin berasal dari rakyat, oleh karena itu jangan sampai terjadi ketidaksamaan antara apa yang dilaksanakan dengan apa yang merupakan kehendak rakyat.
Kalau suatu negara mempunyai pemimpin yang berwatak seperti tesebut di atas, maka tak usah diragukan lagi, bahwa rakyatnya pasti akan menjadi bahagia. Hal di atas bukanmerupakan khayalan belaka, sebab pada zaman yang lampau memang terdapat seorang raja Agung di India, Sri Baginda Raja Asoka, yang telah mempraktekkan dasa raja-dhamma tersebut.
Pemimpin adalah orang yang harus dapat menaklukkan dan menguasai diri sendiri. Walaupun seseorang dapat menaklukkan beribu-ribu musuh dalam berbagai pertempuran, tetapi penakluk terbesar adalah mereka yang dapat menaklukkan diri mereka sendiri. Seorang pemimpin hendaknya juga memberikan pengetahuan yang didapatkannya kepada mereka yang memerlukan. Ia juga harus mempunyai perhatian kepada orang lain, bahkan bila perlu perhatian itu diperluas kepada semua makhluk. Sang Buddha telah memberikan contoh pelayanan yang jelas ketika beliau melayani seorang bhikkhu tua yang sedang sakit. Pada saat bhikkhu yang lain meninggalkannya sang Buddha justru merawatnya. Beliau berkata, “Mereka yang merawat yang sakit, sesungguhnya sama dengan merawat beliau.”
Sebagai seorang pemimpin harus selalu berpikir tentang orang lain dan jangan berpikir tentang dirinya sendiri, maksudnya adalah selalu memikirkan kepentingan pribadi. Ia harus menjadi pendorong bagi orang lain bila terjadi kemacetan program kerja. Kemacetan komunikasi selalu terjadi bila ia terus memikirkan kepentingan pribadinya. Tujuan yang terprogram akan menjadi rapih, konsisten, dan tepat waktu. Memulai dan mengakhiri pertemuan harus dengan harmonis. Tidak mengganti aturan yang sudah ada. Senior harus dihormati, karena banyak pengalaman yang bisa didapatkan dari mereka. Jadilah sahabat yang terbaik bagi anak buahnya. Didalam Digha Nikaya III No. 186 Sang Buddha mengatakan ada empat jenis sahabat sejati (kalyanamitta): Seorang penolong, seorang teman baik dalam kesenangan dan kesusahan, seorang yang memberikan nasehat bijaksana dan seorang yang simpatik seorang guru spiritual juga dianggap kalyanamitta.
Kecerdasan kepemimpinan merupakan sebuah upaya yang secara sadar dilakukan seorang pemimpin melalui serangkaian latihan - latihan untuk memperkuat pikiran bawah sadarnya dengan berbagai wawasan dan pengetahuan baru dalam memberi jawaban dari tuntutan nyata untuk berkinerja maksimal yang wajib diberikan para pemimpin masa kini dan masa depan. Dalam analisa saya, saya melihat ada delapan tantangan utama yang akan dihadapi pemimpin puncak yaitu Menjaga Tingkat Kesehatan Perusahaan - Kepemimpinan Disemua Jenjang - Tenaga Kerja Berkualitas - Lingkungan Sosial Yang Mendukung - Potensi Pasar - Teknologi Dan Informasi - Efisiensi Dan Penghematan - Komunikasi Internal Dan Eksternal. Kedelapan tantangan ini seperti satu nafas yang wajib dijaga dan dirawat dengan baik. Dalam waktu - waktu mendatang kecerdasan dan kesiapan pemimpin untuk menjadi penunjuk arah bagi kesuksesan perusahaannya sudah tidak dapat dikompromikan lagi. Kecerdasan kepemimpinan akan membuka arah masa depan perjalanan perusahaan ke arah yang jelas dan terdefinisi secara sederhana untuk dapat dimengerti dan dipahami semua orang yang ada bersama perusahaan. Kecerdasan kepemimpinan akan berujung kepada tujuan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkarakter, berkualitas, memiliki semangat, nilai, prinsip, dan keberanian untuk berkreatifitas dalam batasan tanggung jawab masing -masing.
Kecerdasan kepemimpinan, akan menjadi inspirasi bagi semua pemimpin untuk dapat mengelola dan memanfaatkan semua potensi sumber daya perusahaan secara efisien dan maksimal. Kecerdasan kepemimpinan akan membuka wawasan sadar seorang pemimpin untuk menjadi kekuatan gagasan dan filosofi. Dia harus mampu menunjukan kebijaksanaan dalam pola hidup sederhana yang berkosentrasi untuk mengangkat moral, perilaku, dan semangat dari semua potensi kekuatan sumber daya.
Keterbatasan sumber daya alam, termasuk keterbatasan energi harus dapat memotivasi seorang pemimpin untuk memaksimalkan potensi dirinya melalui pengembangan kecerdasan pikiran bawah sadar untuk dimanfaatkan bagi pengembangan potensi kekuatan sumber daya manusia dalam memanfaatkan keterbatasan sumber daya alam dan energi tersebut. Kecerdasan kepemimpinan akan merancang strategi pengembangan sumber daya manusia yang mencerminkan kekuatan mereka dalam merespons keragaman potensi pasar dan para pelanggan yang telah menjadi bagian tidak terpisahkan terkait keberadaan perusahaan di masa depan.
Kecerdasan kepemimpinan akan mendefinisikan misi dan visi masa depan secara sederhana dan mudah dipahami oleh semua potensi kekuatan sumber daya manusia, dan termasuk para pelanggan. Kekuatan pemimpin dalam memompa motivasi dan semangat sumber daya manusia dalam memahami misi, akan memantapkan kedudukan perusahaan di masa kini dan di masa depan. Kecerdasan kepemimpinan akan memberi arah kepada sumber daya manusia untuk selalu mendengar pelanggan dan belajar bersama perubahan untuk memberikan nilai lebih bagi kepuasan pelanggan.
Delapan tantangan utama akan menjadi dasar dalam membangun sebuah rencana strategi dalam upaya membangun kekuatan internal dan eksternal. Tingkat kesehatan perusahaan akan menentukan kecerdasan kepemimpinan dalam menjawab fundamental kekuatan perusahaan. Kepemimpinan di semua jenjang juga merupakan sebuah kekuatan fundamental yang akan mengarahkan semua kepemimpinan dari level bawah sampai level puncak untuk selalu berada dalam satu persepsi dan visi. Tenaga kerja berkualitas termasuk dalam kekuatan fundamental perusahaan dalam menjawab kualitas produk dan kualitas layanan kelas satu. Lingkungan sosial yang mendukung keberadaan perusahaan dan kepemimpinannya akan menjadi kekuatan dalam menciptakan kepercayaan diri perusahaan untuk berada ditengah - tengah masyarakatnya. Potensi pasar yang dapat dikembangkan dan dijadikan sebagai basis langganan baru adalah harapan masa depan keberhasilan perusahaan. Teknologi dan informasi wajib dimanfaatkan secara cerdas dan tepat sasaran dalam menjawab kebutuhan dan permintaan para pelanggan. Efisiensi dan penghematan menjadi syarat mutlak bagi kepemimpinan yang cerdas dalam menjaga dan merawat daya saing perusahaan. Komunikasi internal dan eksternal merupakan sebuah jembatan yang wajib dibangun secara sempurna untuk menjawab semua kebutuhan kelangsungan operasional perusahaan. Kedelapan hal diatas, akan menjadi akar keberhasilan bila sejak awal menjadi fokus dan perhatian para pemimpin. Kecerdasan kepemimpinan akan membangun sumber daya manusia yang cerdas dengan semangat untuk menciptakan perusahaan yang sehat dan kuat menghadapi persaingan global.
Kecerdasan kepemimpinan tidak hanya akan meramalkan masa - masa menguntungkan, tetapi juga tentang masa kekacauan yang ada di hadapan untuk dicari solusinya, sukses akan terbentang luas bagi pemimpin yang akan memimpin dengan misi memberikan harga diri kepada setiap orang. Kecerdasan kepemimpinan akan membangun visi baru yang mempererat hubungan yang melintasi semua sektor yang ada di dalamnya. Kecerdasan kepemimpinan akan mampu memberi semangat dan sinar kehidupan serta mempunyai keberanian memimpin di depan mengenai isi, prinsip, visi, misi, dan siap menjadi gerbong utama untuk mengendalikannya. Kecerdasan kepemimpinan merupakan karakter yang mendefinisikan tantangan yang dihadapi di masa depan secara sederhana, kualitas kecerdasan kepemimpinan akan dinyatakan dalam perilaku dan tindakan yang berkarakter membangun, dan melindungi semua kekuatan sumber daya yang ada didalamnya, dan mengajarkan kepada sumber daya manusia tentang bagaimana seharusnya bekerja dan melewati semua masa sulit dengan kemenangan. Manusia yang pada saat ini berada paling atas dari rantai makanan kehidupan di planet ini, harus sadar bahwa perilaku tidak bijaksana dan serakah akan melenyapkan energi dan sumber makanan yang dimiliki. Dan jelas semua ini harus menjadi bagian dari kecerdasan kepemimpinan untuk tetap bijaksana dalam mengeksplorasi potensi bumi kehidupan kita.
Di dalam dunia bisnis, suatu perubahan yang sifatnya berangsur-angsur dapat membuat suatu bisnis hancur total bila tidak dicermati. Di Illinois terdapat sebuah kota yang hidup dari beberapa pabrik pembuat botol. Botol-botol ini dipergunakan untuk menampung berbagai jenis minuman ringan. Namun ketika muncul kemasan baru berbentuk alumunium can atau kotak karton kecil, para pemimpin bisnis botol dan pengikutnya menyepelekan bahaya saingan wadah baru yang muncul. Akibatnya, hanya dalam satu dekade, kota dimana pabrik-pabrik botol itu berada menjadi kota yang mati karena hampir seluruh pabrik botol disana gulung tikar karena industri botol minuman ringan beralih ke industri kemasan lain.
Dalam dunia sosial, suatu perubahan yang berangsur-angsur dapat membuat orang kehilangan motivasi dengan mudah. Di sebuah negara, muncul banyak organisasi swadaya masyarakat yang misinya adalah mengajar orang membaca dan menulis. Berbagai orang yang ingin membantu orang lain melakukan hal itu. Namun ketika departemen pendidikan pemerintah membahas kemungkinan mengubah sistem pendidikan negeri itu, tidak ada orang yang perduli. Akhirnya ketika pemerintah tersebut sungguh-sungguh melakukan pembaharuan di dalam sistem pendidikannya sehingga sistem tadi menjadi sangat efektif, sebagian besar organisasi sukarela tadi kehilangan pekerjaan dan motivasinya. Sayang sekali mereka tidak melihat bahwa pemerintah sebenarnya masih membutuhkan banyak mitra.
Kita dapat mengenali adanya perubahan yang berangsur-angsur bila sebagai seorang pemimpin terus menerus kita mengamati perubahan dalam jangka panjang. Tanpa kebiasaan ini seorang pemimpin menjalani tugasnya bagaikan seorang nahkoda kapal yang tidak rajin memeriksa peta dan kompasnya. Jadi, seorang pemimpin harus terus menerus meneliti lingkungan mikro dan makro serta membandingkannya dengan situasi sebelumnya.
Perubahan kedua adalah suatu perubahan yang merupakan loncatan dahsyat. Perubahan ini seringkali disangkali orang karena cenderung membuat orang merasa takut tidak dapat menyesuaikan diri Mereka mengecilkan makna perubahan tadi atau dampaknya. Contoh yang paling jelas adalah ketika mesin ketik manual digantikan dengan mesin ketik electric yang mampu menghadirkan berbagai jenis huruf, penghapus, dan kecepatan tinggi. Banyak sekretaris merasa bahwa mesin ketik baru ini tidak enak, kurang bersuara, dan terlalu banyak fiturnya. Beberapa saat kemudian ketika komputer mulai hadir, juga para sekretaris tadi dengan sinis mengatakan bahwa produk ini hanyalah mesin ketik yang lebih canggih karena diberikan layar. Banyak diantara mereka memberikan protes keras karena setelah bekerja 20 tahun mereka diharuskan mengikuti kursus penggunaan program Word atau sejenisnya. Tak lama kemudian, ketika program data base muncul, demikian juga spread sheet dan berbagai program dengan grafik yang indah, terpanalah mereka. Tanpa disadari mereka sudah tertinggal sangat jauh sehingga merasa tidak lagi mungkin mengejar perubahan yang terjadi.
Para sekretaris dalam cerita di atas gagal menyadari bahwa komputer adalah suatu loncatan dahsyat dalam sejarah manusia. Demikian juga televisi yang nyatanya kini mengubah jam tidur, pola berpakaian, pola komunikasi di rumah dan pendidikan anak.
Loncatan-loncatan yang dahsyat dapat disadari hanya bila orang meneliti berbagai perubahan yang ada dan mulai memperkirakan polanya dan dalam hal apa loncatan akan terjadi. Hal ini merupakan tugas seorang pemimpin. Salah satu caranya ialah dengan menyimak pada percakapan dari pakar-pakar atau orang-orang yang merupakan ahli di dalam bidang yang berbeda-beda. Kemudian, sang pemimpin berupaya mendapatkan gambaran keseluruhan mengenai apa yang sedang terjadi dan polanya.
Tiap-tiap pemimpin dalam organisasi atau komunitasnya tentu harus berhadapan dengan dampak dari salah satu faktor di atas entah dampak baik atau dampak buruknya.
Perubahan ketiga adalah perubahan sengaja yang bersifat intermitent atau sesekali. Perubahan-perubahan seperti ini terus hadir namun seakan tidak sinambung atau terkait. Ada saatnya ia muncul, lalu lenyap. Di kemudian hari kelanjutan perubahan ini muncul lagi, kemudian lenyap kembali. Hanya orang-orang yang pengamatannya tajam dapat mengenali keseluruhan pola yang muncul serta dampaknya. Contoh dari perubahan jenis ini adalah masalah ketidak puasan orang terhadap pola pendidikan yang terjadi di negeri ini. Pembahasan tentang hal ini tidak terjadi terus menerus namun juga tidak bersifat musiman. Walaupun demikian bila kita teliti secara mendalam, percakapan dan sorotan tentang pendidikan ini terus muncul semakin lama semakin sering dan dalam. Demikian juga masalah pajak, korupsi, dan sebagainya. Semakin lama orang semakin sadar walaupun belum tentu muncul jalan keluar nyata dari masalah ini.
Dalam melakukan tugas kepemimpinan, salah satu hal yang sulit ditangani adalah mengenali perubahan jenis ini serta menentukan cara menanganinya. Salah satu cara terbaik adalah dengan secara teratur menyimak percakapan para tokoh yang terbiasa membuat analisis makro tentang trend yang terjadi.
Perubahan jenis yang keempat adalah perubahan sengaja yang dikenal dengan nama chaos atau kekacauan. Chaos bukan berarti suatu perubahan yang tidak ada polanya sama sekali. Namun dampak dari perubahan yang ada tadi sangat tersembunyi. Contohnya, bagaimana akibat dari kupu-kupu yang musnah di Selorejo misalnya, terkait dengan kerusakan pola lingkungan yang berbahaya bagi ikan mujair di Majalaya?
Sekali lagi, dalam menyimak perubahan dan dampaknya bagi apa yang ia sedang lakukan seorang pemimpin tidak perlu menjadi ahli perubahan, namun menjadi ahli dalam menyimak pada pakar yang tepat dalam urusan perubahan ini serta menjadi ahli dalam melibatkan pengikutnya untuk mengenali dan menangani perubahan yang dihadapi..
Dalam paradigma pemimpin yang melayani, perubahan harus disimak bersama dengan pengikutnya sehingga tercapai kesamaan persepsi tentang apa yang sedang dihadapi bersama. Dengan demikian fase untuk mengadakan sosialisasi tujuan dan makna perubahan menjadi fase yang panjang dan ditangani secara serius. Kemudian, secara bersama pula dilakukan penugasan sehingga semua pihak mengatasi masalah ini secara terkoordinir serta merasa dilibatkan.
Ada berbagai perubahan yang perlu dilaksanakan di dalam suatu organisasi atau komunitas dimana seorang pemimpin bekerja.
 Perubahan pada tingkat kualitas dan jumlah manusia yang terlibat
 Perubahan pada pola kepemimpinan
 Perubahan pada struktur organisasi, prosedur, dan berbagai sistem di dalamnya
 Perubahan pada budaya organisasi, khususnya pada nilai-nilai yang dianut bersama.
Seorang pemimpin yang berkarakter baik saja tidak cukup untuk menghasilkan corak kepemimpinan yang mampu menggerakkan orang dan mengadakan proses transformasi, bila kepemimpinannya tidak didukung oleh suatu sistem, prosedur dan struktur organisasi yang efektif dan selaras dengan corak kepemimpinannya. Pertama-tama, iaa perlu membentuk dan mengubah apa yang ada agar menjadi serasi dengan apa yang diidamkannya dan terbaik dalam mencapai misinya. Biasanya di dalam siklus suatu komunitas dan organisasi dibutuhkan waktu transisi dari seorang pemimpin yang memusatkan segala hal pada dirinya menjadi seorang pemimpin yang bersedia didukung namun sekaligus dibatasi oleh struktur, sistem dan prosedur organisasinya.

Kedua, sistem yang terkait baik dengan kepemimpinan masih tidak cukup menghasilkan gerak dan transformasi bila budaya organisasi tidak dikelola dengan baik dan sengaja. Maka secara sengaja sang pemimpin harus merumuskan nilai-nilai yang harus dikembangkan di dalam organisasi yang dipimpinnya. Hal ini akan dibahas secara khusus karena merupakan hal yang tidak terlalu diperhatikan orang dan sekaligus juga tidak banyak dikenal oleh ahli-ahli.
Hanya bila hal-hal tadi saling terkait dengan selaras, maka organisasi atau komunitas tadi akan menjadi efektif. Efektifitas organisasi tadi terlihat dari bagaimana organisasi tadi mampu dengan lugas dan tepat menangani perubahan yang ada di dalam dirinya maupun yang datang dari lingkungannya.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa bila kepemimpinan, strutur, sistem dan prosedur serta budaya organisasi diubah sehingga terintegrasi, maka keseluruhannya akan sangat handal dan efektif dalam menangani perubahan baik makro dan mikro.
Bagaimana kalau kebalikannya terjadi? Apakah yang akan terjadi bila hanya muncul suatu perubahan yang baik di salah satu faktor di atas? Kalau seorang pemimpin tidak mendukung struktur yang ada atau proses yang disepakati, maka timbullah berbagai kebingungan. Sebaliknya bila struktur yang ada menghimpit kreatifitasnya, ia akan berhenti menjadi pemimpin dan beralih menjadi manajer saja. Selanjutnya, budaya organisasi atau iklim hubungan sangat menentukan bagaimana organisasi tadi memproses apa yang perlu ditanganinya.
Namun walaupun seorang pemimpin memiliki sistem, struktur dan proses serta dukungan budaya organisasi yang cocok, tanpa kehadiran orang-orang yang tepat di organisasinya, maka semuanya tetap akan sia-sia.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

Oleh karena seorang pemimpin pada kebanyakan momen harus berada didepan untuk mewakili komponen-komponen yang dipimpinnya, maka seorang pemimpin harus Ing Ngarso Sung Tulodo yaitu sebagai teladan, Ing Madyo Mangun Karso yaitu ditengah-tengah bawahannya selalu membangkitkan semangat dan kehendak kerja atau bisa disebut dengan motivasi bagi bawahannya, dan Tut Wuri Handayani yang artinya seorang pemimpin harus mau dan sanggup memberikan dorongan dari belakang. Dengan memberikan dorongan kepada bawahannya maka bawahannya akan memperoleh kemajuan yang baik dalam bentuk pengalaman, rasa percaya diri ataupun hal-hal yang lainnya.
Dan selalu berpegang teguh pada panji kebenaran untuk menjadi seorang pemimpin yang sejati. Keberanian seorang pemimpin, bukan keberanian jasmani semata, tetapi mendorong orang untuk mengatakan, mengakui kesalahannya, membetulkan kekeliruannya, menghargai opsisi, berunding dengan lawan dan mempersilahkan rakyat menilai manfaatnya sebagai pemimpin. Karena keberanian moral seperti itulah ia akan selalu dicintai dan dihormati, bukan karena sebagai pahlawan perang semata, tetapi sebagai ilham dan suara hati nurani bangsa. Intisari ajaran yang perlu diperhatikan adalah ketidak takutan dan kebenaran dan tindakan yang selaras dengan ajaran itu, akan selalu tampak mengarah kepada kesejahteraan orang banyak.
BAB V
KRITIK DAN SARAN

A. Kritik
- Dosen
• Bapak menjelaskan materi terlalu cepat
• Bapak merokok
- Universitas
o Melayani dengan tidak sesuai dengan semestinya
o kemarahan saat melayanin mahasiswa


B. Saran
- Dosen
• Jangan merokok ketika mejelaskan materi
• Menjelaskan materi jangan terlalu cepat
- Fakultas
o Jangan mempersulit saat regestrasi
o Biasakan bekerja scara profesional
o Jangan marah-marah saat melayani pembayaran dan regestrasi karena itu sudah tugas dari BAK
DAFTAR PUSTAKA


Sutjipta, Nyoman, 2001, “Manajemen Sumber Daya Manusia” Diktat: Univeritas Udayana, Denpasar.
Sumidjo, Wahyo, 1984,”Kepemimpinan dan Motivasi”, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Thoha, Miftah, 1994,”Kepemimpinan Dalam Manajemen”, CV. Rajawali, Jakarta.
Siagian, Sondang P, 1986, “Organisasi, Kepemimpinan dan Perilaku Administrasi”, PT. Gunung Agung, Jakarta.